Siapa Mewakili Siapa
Bukan kabar gembira untuk kita
semua ((nyanyiin ala ekstrak kulit manggis))
Dari jaman baheula Jogja dikenal
dengan Kota Pelajar atau Kota Gudeg tapi akhir-akhir ini Jogja ((lagi)) dikenal
dengan kasus menggemparkan.
Seseorang ditahan 2 hari karena
kicauannya. Semua pasti tahu kicauan kasar dimedia sosial yang menghina kota
Jogja.
Kicauannya membuat masyarakat
penasaran siapa pemilik akun media sosial tersebut— yang digunakan untuk
berkicau dan adalah mahasiswi salah satu perguruan ternama di jogja yang sedang
menempuh pendidikannya.
Dari kasus itu benar-benar memberi pelajaran tersendiri.
Walaupun, menurut pengakuannya, si mbak tidak membawa-bawa nama kampus tapi
begitu masalah menjadi heboh nama kampus atau nama sekolah juga yang dipertanyakan.
"lulusan mana?" "orangtua siapa?"
"orang mana?"
Ketiga jawaban dari pertanyaan itu memang tidak tahu
apa-apa tapi yang jelas ketiga jawaban dari pertanyaan itu juga kena imbasnya.
Sadar atau enggak,
Seseorang selalu menyandang status itu. Membawa nama itu. Selalu mewakili sekolah, orangtua dan daerah.
That's why saat kelulusan dari suatu lembaga pendidikan
guru/dosen selalu mengingatkan "jaga nama baik almamatermu nak!"
Karena,
Betapa semua akan tercoreng ketika yang mewakilinya
merusaknya dengan ulahnya sendiri.
Semua kejadian ada hikmahnya.
Ya, dan termasuk kejadian di atas. kejadian itu
mengingatkan untuk tidak sembarangan berkicau di medsos yang sekiranya
menyakiti banyak pihak atau berkicau yang mempertanyakan diri sendiri.
Kicauan menggambarkan diri pengkicau, kan?
Mungkin dari kasus tersebut tidak di limpahkan ke meja
hijau lebih lanjut, tapi kasus tersebut pasti terkena hukuman sosial. Orang-orang
akan mengingat siapa dia dan itu lebih menyakitkan.
Sebagian orang mengatakan "cuma masalah gini aja di
besar2 kan?!" dan jawabannya adalah segini itu seberapa? tidak penting masalah
itu segini atau segitu. Yang lebih penting adalah ketika membiarkan orang-orang
mengumpat menyakiti banyak pihak.
Bila kebiasaan mengumpat didiamkan maka seiring waktu
tidak menutup kemungkinan masyarakat menganggap mengumpat menjadi hal yg biasa.
Akibatnya rasa toleransi akan semakin memudar dan mungkin saat itu manusia
sudah bukan makhluk sosial lagi melainkan makhluk indivual.
Membayangkan rasanya ngeri. Membayang manusia akan saling
acuh ketika setiap orang mengumpat.
Banyak orang yang marah akibat kicauan itu setidaknya
membuktikan bahwa masyarakat masih menjunjung nilai ketoleransian
—mempertanyakan ketoleransian seseorang.
Biarkan lah kejadian ini menjadi pelajaran buat semua
pengguna media sosial. Bahwa kebebasan bukan berati menjelekan suatu pihak dan
ingat bahwa dimana pun keberadaan seseorang selalu mewakili kampus, keluarga
dan daerah.
*Noted to Self*
0 komentar