­

Siapa Mewakili Siapa

by - Monday, September 01, 2014

Bukan kabar gembira untuk kita semua ((nyanyiin ala ekstrak kulit manggis))

Dari jaman baheula Jogja dikenal dengan Kota Pelajar atau Kota Gudeg tapi akhir-akhir ini Jogja ((lagi)) dikenal dengan kasus menggemparkan.

Seseorang ditahan 2 hari karena kicauannya. Semua pasti tahu kicauan kasar dimedia sosial yang menghina kota Jogja.

Kicauannya membuat masyarakat penasaran siapa pemilik akun media sosial tersebut— yang digunakan untuk berkicau dan adalah mahasiswi salah satu perguruan ternama di jogja yang sedang menempuh pendidikannya.
Dari kasus itu benar-benar memberi pelajaran tersendiri. Walaupun, menurut pengakuannya, si mbak tidak membawa-bawa nama kampus tapi begitu masalah menjadi heboh nama kampus atau nama sekolah juga yang dipertanyakan.
"lulusan mana?" "orangtua siapa?" "orang mana?"
Ketiga jawaban dari pertanyaan itu memang tidak tahu apa-apa tapi yang jelas ketiga jawaban dari pertanyaan itu juga kena imbasnya.
Sadar atau enggak,
Seseorang selalu menyandang status itu. Membawa nama itu. Selalu mewakili sekolah, orangtua dan daerah.
That's why saat kelulusan dari suatu lembaga pendidikan guru/dosen selalu mengingatkan "jaga nama baik almamatermu nak!"
Karena,
Betapa semua akan tercoreng ketika yang mewakilinya merusaknya dengan ulahnya sendiri.
Semua kejadian ada hikmahnya.
Ya, dan termasuk kejadian di atas. kejadian itu mengingatkan untuk tidak sembarangan berkicau di medsos yang sekiranya menyakiti banyak pihak atau berkicau yang mempertanyakan diri sendiri.
Kicauan menggambarkan diri pengkicau, kan? 
Mungkin dari kasus tersebut tidak di limpahkan ke meja hijau lebih lanjut, tapi kasus tersebut pasti terkena hukuman sosial. Orang-orang akan mengingat siapa dia dan itu lebih menyakitkan.
Sebagian orang mengatakan "cuma masalah gini aja di besar2 kan?!" dan jawabannya adalah segini itu seberapa? tidak penting masalah itu segini atau segitu. Yang lebih penting adalah ketika membiarkan orang-orang mengumpat menyakiti banyak pihak.
Bila kebiasaan mengumpat didiamkan maka seiring waktu tidak menutup kemungkinan masyarakat menganggap mengumpat menjadi hal yg biasa. Akibatnya rasa toleransi akan semakin memudar dan mungkin saat itu manusia sudah bukan makhluk sosial lagi melainkan makhluk indivual.
Membayangkan rasanya ngeri. Membayang manusia akan saling acuh ketika setiap orang mengumpat.
Banyak orang yang marah akibat kicauan itu setidaknya membuktikan bahwa masyarakat masih menjunjung nilai ketoleransian —mempertanyakan ketoleransian seseorang.
Biarkan lah kejadian ini menjadi pelajaran buat semua pengguna media sosial. Bahwa kebebasan bukan berati menjelekan suatu pihak dan ingat bahwa dimana pun keberadaan seseorang selalu mewakili kampus, keluarga dan daerah.
*Noted to Self*


You May Also Like

0 komentar