­

Gempa Jogja 27 Mei 2007

by - Tuesday, June 02, 2020

Tiap tidur disuatu tempat, rumah siapapun pasti selalu ada pikiran ini rumahnya tahan gempa ga ya? Kalo mau lari gampang ga ya? Kunci pintu depan nya seperti apa? Mudah dibuka ga ya?

Pikiran-pikiran tersebut nampaknya hasil trauma akibat gempa Jogja 27 Mei 2007 silam. Rasa takut yang menimbulkan kewaspadaan dimanapun aku berada.

Aku masih duduk dibangku kelas tujuh. aku ingat betul saat itu jam 6 kurang, aku tengah mandi bersiap untuk sekolah, ketika tiba-tiba getaran kuat menggetarkan lantai kamar mandi yang aku pijak. Gerakan itu menyamping kiri kanan. Aku jelas tidak tau kalo getaran itu dinamakan gempa, yang jelas aku kaget, ini kenapaa?

"Gempaaaa!! Gempaaa!!" Ibu yang berada di dapur tengah memasak berteriak kencang sekali.

"Keluar ranii!! Keluaaar semua!! Gempaaaa!!"

Seketika itu juga aku panik, aku keluar dengan handuk yang melilit tubuhku. Aku bersyukur aku bisa keluar lari dari kamar mandi tanpa terpeleset, tanpa kesulitan buka pintu dan tentu dengan handuk yang menutup tubuhku.

Ibu, mb, adik dan aku berhasil keluar dengan selamat, begitupun dengan tetangga-tetangga. Alhamdulillah bangunan tampak kokoh, tidak ada yang roboh dan tidak ada korban jiwa di komplek saat itu.

Sesaat setelah keluar, mata semua orang tertuju ke arah selatan. Menunjuk Gunung Merapi sebagai penyebab gempa kala itu, karena memang beberapa hari sebelumnya Merapi menunjukkan tanda-tanda erupsi.

Setelah getaran mereda, bergegas ibu dan aku masuk kembali kerumah. Aku dengan cepat memakai baju, sementara ibu mematikan kompor dan mengecek keadaan dirumah

Setelah memastikan semua baik-baik saja, ibu dan kita semua kembali keluar rumah. Dengan getaran yang lebih ringan, namun tetap dapat dirasakan gempa terus menggetarkan jogja kala itu. Tiap lima menit gempa masih terasa. Menambah rasa takut terlebih kaki rasanya sudah gemetar sendiri akibat ketakutan.

Ibu memutuskan untuk mengisi pulsa hp untuk menghubungi bapak yang kala itu ada di Purworejo. Kulihat juga saat itu ibu berjaga-jaga dengan mengantongi beberapa uang bilamana terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Semua orang kala itu duduk dijalan depan rumah. Jalan beraspal. Terlalu takut untuk kembali masuk rumah depan gempa yang masih saja menggetarkan. Saat duduk-duduk itu, dari arah timur datang seseorang yang mengendarai motor dengan kencang yang kutau saudara tetangga. Dia datang mengarah ke arah kita dengan berteriak kencang.

"AIR AIR!! AIR LAUT NAIK!!"

Dan taukah kalian apa yang kemudian terjadi?

Ya! Semua takut. Semua kalang kabut. Semua langsung sibuk sendiri dengan berusah menyelamatkan diri, menyalakan kendaraan motornya lalu melarikan diri kearah utara, yang lebih tinggi. Termasuk aku dan keluarga. 

Saat itu aku berusaha menyelamatkan diri dengan ikut tumpangan tetangga naik motor. Kita boncengan berlima, yang ikut kala itu hanya aku dan adikku yang besar.

Sedang ibu, mb dan adik kecil berlarian mencari tumpangan mobil. Kita terpisah. Semua kendaraan bermotor kala itu menuju utara, menuju Kalasan. Macet dimana-dimana. Semua orang nampak ketakutan, begitupun dengan aku.

Ketakutan semua orang itu bukan tanpa alasan, walaupun kalo dipikir-pikir sekarang adalah hal yang konyol air laut dari pantai selatan bisa naik sampai komplek rumah kala itu, apalagi sampai Kalasan yang notabene sudah lebih tinggi daerahnya (kecuali kiamat). Yang aku pahami, ketakutan itu bisa berefek sedemikian besar dan luas adalah karena kejadian Tsunami di Aceh 2004 silam. 

Yang ada dibenak banyak orang pasti air laut yang akan datang secara tiba-tiba dan dahsyat seperti Tsunami. Tidak terpikir akan jarak yang begitu jauh dari pantai, bayangan bencana tsunami aceh 2004 pasti memenuhi benak mereka. Termasuk aku tentunya.

Setelah muter-muter tanpa arah saat itu akhirnya kami memutuskan pulang kembali ke rumah. Hanya ada beberapa orang yang memutuskan tetap tinggal dirumah, sedangkan sebagian besar kabur menyelamatkan diri. Saat itu rumah ditinggal begitu saja, tanpa ditutup apalagi dikunci. Bersyukur aku tinggal dikomplek perumahan jadi aman tidak ada barang yang hilang.

Sempat terpisah dengan ibu, akhirnya ketika memutuskan pulang kerumah ibupun tak lama setelah itu kembali kerumah. Ibu bercerita kalo ibu mencari tumpangan mobil dan ada yang bersedia menerimanya.

Hari-hari selanjutnya setidaknya tujuh hari dari gempa pertama di hari sabtu itu orang sekitar rumah pada tidur diluar, diteras. Bahkan malam pertama setelah gempa besar kita semua tidur dijalan beraspal. Bener-bener dijalan. Beratap langit malam. Saking takutnya.

Aku kedalam rumah saat itu seperlunya saja. Mandipun sesingkat singkatnya. Tata urutan mandi pun berubah semenjak gempa, yaitu sebelum lepas baju pasti sikat gigi dan cuci muka, lepas baju hanya ketika akan sabunan. Jadi berusaha sesingkat mungkin dalam keadaan tanpa baju karena takut akan kemungkinan-kemungkinan yang masih bisa terjadi.

Seminggu tidur diluar rumah menyebabkan pipi ku bengkak sebelah kala itu, ntah apa hubungannya. Yang pasti ketika sudah mulai tidur didalam rumah, pipi bengkakku berangsur-angur kempes.

Hingga saat ini, Mei 2020, kejadian gempa di Jogja yang berpusatkan di Bantul kala itu masih membekas. Terutama setiap tanggal 27 Mei, video-video atau foto-foto saat bencana melanda muncul di sosial media mengingkatkan betapa ngeri nya kejadian saat itu. Banyak korban jiwa yang tewas. Banyak rumah yang roboh dan banyak rumah yang rata dengan tanah.

Alhamdulillah, Allah lindungi dan panjangkan umur hamba dan orang-orang yang ku sayang.

Tiga belas taun sudah berlalu, semoga cukup sudah merasakan gempa seperti itu. Semoga selalu dihindarkan dan diselamatkan dari bencana alam oleh Nya. Amin.

Stay safe everyone!

You May Also Like

0 komentar